Senin, 20 April 2015

MAKALAH; PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
       Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara pasti kapan pesantren itu di mulai, tetapi sebagai indikasi mulai adanya pesantren pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di jawa yang didirikan oleh sunan maulana malik Ibrahim di gersik jawa timur. Menurut versi lain, ada tanda-tanda yang menyebutkan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16. Keberadaan pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah walisongo pada abad ke 15-16 di jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar islam di jawa yang telah berhasil mengkombinasikan aspek tradisi local dan spirit keagamaan serta aspek sekuler dan profan keduniawian dalam memperkenalkan islam kepada masyarakat.
       Hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan gerak perubahan zaman. Persoalan yang muncul ternyata terdapat kesenjangan antara pertumbuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baru dengan kemampuan pesantren untuk menjawab kompleksitas masalah yang terus-menerus mendera bangsa di Indonesia.
B.       Rumusan masalah
1.      Apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam pesantren?
2.      Bagaimana tentang pengertian pesantren?
3.      Kitab apa saja yang dipelajarkan dalam pesantren?
C.       Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui unsur-unsur yang terjadi dalam pesantren.
2.      Untuk mengetahui pengertian tentang pesantren.
3.      Untuk mengetahui kitab-kitab yang diajarkan dalam pesantren.
                                                     

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengetian pesantren
Secara umum, pesantren diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Oleh karena itu, perkataan pesantren berasal dari kata santri juga, dengan penambahan awalan “pe’’ dan akhiran “an’’.[1] Zamkhsyari Dhofier mengutip beberapa pendapat para ahli tentang asal-usul istilah pesantren, seperti pendapat prof. Jhons yang mengatakan bahwa istilah santri sebenarnya berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C Breg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tau buku-buku suci agama Hindu, selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2]
Istilah lain menyebutnya bahwa pesantren berpasangan dengan pondok. Dengan begitu, istilah “pondok pesantren’’ menjadi sangat popular di masyarakat. Dhofier menduga bahwa kata pondok itu berasal dari pengertian asrama-asrama para santri sebagai tempat yang di buat dari bambu, atau berasal dari kata funduq yang berarti hotel atau asrama.[3]
Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Walaupun pesantren sering diasumsikan sebagai lembaga pendidikan islam tertua di indonesi, tetapi perhatian para peneliti terhadap pesantren dapat di katakan belum terlalu lama dimulai. Oleh karena itu, masih banyak sisi-sisi lain dari pesantren yang perlu dilaborasi dan diteliti lebih lanjut. Apalagi jumlah pesantren di Indonesia terbilang sangat banyak dan tersebar hampir seluruh pelosok nusantara.
Salah satu pemicu percepatan penyabaran lembaga pesantren ke berbagai pelosok nusantara tersebut adalah adanya respons pemerintah waktu itu untuk membaharui bahkan membangun sejumlah pesantren.[4]

B.     Pesantren dalam perspektif Madura
Masyarakat Madura dan budayanya tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Pesantren dengan kyai sebagai sentral figurnya, seolah-olah telah menjadi urat nadi kehidupan mereka sehari-hari. Tradisi-tradisinya yaitu budaya-budaya hidup di pesantren yang sudah berjalan sejak berabad-abad, terutama hubungan antara kyai, santri, dan masyarakat disekitar pesantren. Hubungan antara mereka berlangsung dalam suasana kekeluargaaan dan keakraban yang harmonis. Hubungan ini tidak saja berlangsung ketika para santri masih bersama dipesantren, tetapi harus berlanjut sampai kembali ke masyarakat, bukan saja dalam hal-hal yang menyangkut masalah pendidikan, tetapi juga yang berhubungan dengan masalah ekonomi, social, budaya, politik, bahkan sampai ke masalah jodoh dan pemberian nama untuk anak-anaknya.

C.     Unsur-unsur pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam adalah sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan kepada santri dan masyarakat. System kelembagaan pesantren terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.      Unsur kyai
Kyai menduduki posisi strategis dan peran sentral dalam kehidupan suatu pesantren. Posisi sentral mereka terkait dengan kedudukannya sebagai orang yang terdidik, ali, dan memiliki kemampuan ekonomi yang memadai di tengah masyarakat. Kyai tidak hanya mengajar dan mendidik santri, lebih dari itu ia mengatur kehidupan ekonomi, rohani, mobilitas dan seluruh lalu lintas kegiatan dalam pesantren.
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari kyai, ia yang memberi landasan system, tempat dimana ia mengembangkan ajaran dan pengaruhnya melalui pengajaran. Kyai hanya bertugas sebagai dewan penasehat pesantren atau mengajar kepada santri dalam mata pelajaran tertentu dalam alokasi waktu yang terbatas.
2.      Unsur santri
                        Santri juga sebagai unsur penting dalam pesantren, kyai tanpa santri ibarat raja tanpa rakyat. Santri adalah orang yang sedang mengeyam pendidikan agama di pesantren. Selama menimba ilmu di pesantren, ia juga akan ditanamkan nilai-nilai yang akan membentuk karakter santri, nilai-nilai itu tercermin dalam panca jiwa yang dimiliki semua santri yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah dan kebebasan.
                        Dalam tradisi pesantren dapat ditemukan dua macam status santri, yaitu santri mukim dan santri kalong.[5] Yang dimaksud dengan santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dank arena itu memiliki probabilitas yang tinggi untuk menetap didalam kompleks pesantren. Biasanya santri mukim inilah yang akan tinggal di pesantren dalam waktu yang lama. Adapun yang dimaksud dengan santri kalong adalah mereka yang berasal dari sekeliling pesantren. Mereka ini memiliki rumah yang letaknya tidak jauh dari pesantren.
                        Santri di pesantren mengemban amanah untuk belajar mendalami ajaran agama (tafaqquh fiddin) guna memperoleh bekal ilmu yang mencukupi sebagai modal untuk berjuang menyebarkan ajaran agama islam.
3.      Unsur pondok
            Secara umum bangunan pondok berbentuk seperti asrama. Ketersediaan pondok atau asrama santri merupakan syarat pokok suatu pesantren,
oleh karena itu sebutan untuk lembaga semacam ini terkenal dengan nama “pondok pesantren’’.
            Ada beberapa alasan pokok pentingnya unsur pondok dalam suatu pesantren: pertama,banyaknya santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kyai yang termashur. Kedua, adanya hubungan timbale balik antara kyai dan santri. Ketiga,suasana belajar santri dan perilaku kehidupan santri dapat diawasi dan dibimbing oleh kyai. Sehingga penanaman nilai-nilai pengamalan terhadap ilmu-ilmu yang diperoleh dalam setiap proses belajar yang diikutinya. Santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari dan malam, sehingga waktu-waktu yang dipergunakan santri tidak ada yang terbuang secara percuma.
4.      Unsur masjid
            Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat, khutbah, dan shalat jum’at, dan juga pengajaran kitab-kitab islam klasik.[6] Dalam konteks pesantren, masjid dan kyai adalah dua hal yang memiliki keterkaitan erat satu dengan yang lainnya. Masjid digunakan oleh kyai sebagai pusat kegiatan.
            Secara historis, masjid adalah lembaga pendidikan islam yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Di masa itu, masjid bukan saja sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga sebagai pusat kegiatan lainnya.
5.      Unsur pengajaran kitab-kitab klasik
            Secara sederhana kitab-kitab islam klasik yang berbahasa Arab dan ditulis menggunakan aksara arab, dan dapat dipahami sebagai kitab kuning atau kitab gundul. Kitab-kitab ini biasanya mempunyai format tersendiri yang di tulis diatas kertas berwarna kekuning-kuningan. Akan tetapi, Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya menggunakan bahasa Arab, tetapi juga bahasa lokal (daerah), seperti: melayu, jawa, dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara arab.
Dengan demikian, selain ditulis oleh ulama di timur tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri.[7] Kitab kuning ini sering kali dijadikan pembeda antara kaum tradisionalis dengan modernis.
            Saat ini, meskipun pesantren kebanyakan meng-akomodasi sejumlah mata pelajaran umum untuk diajarkan di pesantren, tetapi pengajaran kitab-kitab islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia kepada paham islam tradisional. Yang dimaksud paham tradisional disini merujuk kepada kitab-kitab islam klasik karangan ulama yang beraliran syafi’iyah. Dalam kaitan ini, kitab-kitab islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan kedalam delapan kelompok, yaitu: 1) nahwu dan shorrof, 2) fiqih 3) ushul fiqh 4) hadist 5) tafsir 6) tauhid 7) tasawwuf 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.



                                                  BAB III
                                                         PENUTUP
Kesimpulan
            Pesantren sebagai organisasi dan lembaga keagamaan, selama ini telah menempatkan posisi yang sederajat dengan lembaga pendidikan, memiliki budaya, iklim, model organisasi, dan struktur kepemimpinan yang khas untuk mencapai tujuan yang efektif.
            Menurut dhofier, lima unsure ekologis kelayakan pondok pesantren yang harus terpenuhi yaitu: adanya kyai, santri, pondok,  masjid, dan kitab kuning. Hal ini merupakan karekteristik fisikal yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya, yang berfungsi sebagai sarana dan prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku social budaya di pesantren.












DAFTAR PUSTAKA
            Atiqullah, Perilaku Kepemimpinan Kolektif  Pesantren, (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013).
            Damopolii, Muljono, Pesantren Modern IMMIM, (jakarta, Rajawali Pers, 2011).
            Mujib, Fatekhul, Pesantren dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pamekasan, STAIN Pamekasan press, 2010).


[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan  Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,  h. 88.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h, 18.
[3]  Ibid h, 18.
[4] Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 1.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h. 51.
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982)  h. 49.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)  h.111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar