BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pesantren adalah
lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara
pasti kapan pesantren itu di mulai, tetapi sebagai indikasi mulai adanya
pesantren pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di jawa yang didirikan oleh
sunan maulana malik Ibrahim di gersik jawa timur. Menurut versi lain, ada
tanda-tanda yang menyebutkan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16.
Keberadaan pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah walisongo pada
abad ke 15-16 di jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar islam di
jawa yang telah berhasil mengkombinasikan aspek tradisi local dan spirit
keagamaan serta aspek sekuler dan profan keduniawian dalam memperkenalkan islam
kepada masyarakat.
Hubungan
pesantren dengan masyarakat sekitar mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan
gerak perubahan zaman. Persoalan yang muncul ternyata terdapat kesenjangan
antara pertumbuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baru dengan kemampuan
pesantren untuk menjawab kompleksitas masalah yang terus-menerus mendera bangsa
di Indonesia.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam pesantren?
2. Bagaimana tentang pengertian pesantren?
3. Kitab apa saja yang dipelajarkan dalam pesantren?
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui unsur-unsur yang terjadi dalam pesantren.
2. Untuk mengetahui pengertian tentang pesantren.
3. Untuk mengetahui kitab-kitab yang diajarkan dalam pesantren.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian
pesantren
Secara umum, pesantren diartikan sebagai tempat tinggal para
santri. Oleh karena itu, perkataan pesantren berasal dari kata santri juga,
dengan penambahan awalan “pe’’ dan akhiran “an’’.[1] Zamkhsyari Dhofier mengutip beberapa pendapat para ahli tentang asal-usul istilah
pesantren, seperti pendapat prof. Jhons yang mengatakan bahwa istilah
santri sebenarnya berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Sedangkan C.C Breg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri
yang dalam bahasa india berarti orang yang tau buku-buku suci agama Hindu,
selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata shastri berasal dari kata
shastra yang berarti buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2]
Istilah lain menyebutnya bahwa pesantren
berpasangan dengan pondok. Dengan begitu, istilah “pondok pesantren’’ menjadi
sangat popular di masyarakat. Dhofier menduga bahwa kata pondok itu berasal
dari pengertian asrama-asrama para santri sebagai tempat yang di buat dari
bambu, atau berasal dari kata funduq yang berarti hotel atau asrama.[3]
Secara terminologis, pesantren
didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Walaupun pesantren sering diasumsikan
sebagai lembaga pendidikan islam tertua di indonesi, tetapi perhatian para
peneliti terhadap pesantren dapat di katakan belum terlalu lama dimulai. Oleh
karena itu, masih banyak sisi-sisi lain dari pesantren yang perlu dilaborasi
dan diteliti lebih lanjut. Apalagi jumlah pesantren di Indonesia terbilang
sangat banyak dan tersebar hampir seluruh pelosok nusantara.
Salah satu pemicu percepatan penyabaran
lembaga pesantren ke berbagai pelosok nusantara tersebut adalah adanya respons
pemerintah waktu itu untuk membaharui bahkan membangun sejumlah pesantren.[4]
B. Pesantren dalam perspektif Madura
Masyarakat Madura dan budayanya tidak bisa
dipisahkan dari pesantren. Pesantren dengan kyai sebagai sentral figurnya,
seolah-olah telah menjadi urat nadi kehidupan mereka sehari-hari.
Tradisi-tradisinya yaitu budaya-budaya hidup di pesantren yang sudah berjalan
sejak berabad-abad, terutama hubungan antara kyai, santri, dan masyarakat
disekitar pesantren. Hubungan antara mereka berlangsung dalam suasana
kekeluargaaan dan keakraban yang harmonis. Hubungan ini tidak saja berlangsung
ketika para santri masih bersama dipesantren, tetapi harus berlanjut sampai
kembali ke masyarakat, bukan saja dalam hal-hal yang menyangkut masalah
pendidikan, tetapi juga yang berhubungan dengan masalah ekonomi, social,
budaya, politik, bahkan sampai ke masalah jodoh dan pemberian nama untuk
anak-anaknya.
C. Unsur-unsur pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam
adalah sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan kepada santri dan
masyarakat. System kelembagaan pesantren terdiri dari beberapa unsur yang
saling berkaitan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Unsur-unsur
tersebut adalah:
1. Unsur kyai
Kyai menduduki posisi strategis dan peran sentral dalam kehidupan suatu
pesantren. Posisi sentral mereka terkait dengan kedudukannya sebagai orang yang
terdidik, ali, dan memiliki kemampuan ekonomi yang memadai di tengah
masyarakat. Kyai tidak hanya mengajar dan mendidik santri, lebih dari itu ia
mengatur kehidupan ekonomi, rohani, mobilitas dan seluruh lalu lintas kegiatan
dalam pesantren.
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari kyai, ia yang memberi
landasan system, tempat dimana ia mengembangkan ajaran dan pengaruhnya melalui
pengajaran. Kyai hanya bertugas sebagai dewan penasehat pesantren atau mengajar
kepada santri dalam mata pelajaran tertentu dalam alokasi waktu yang terbatas.
2. Unsur santri
Santri
juga sebagai unsur penting dalam pesantren, kyai tanpa santri ibarat raja tanpa
rakyat. Santri adalah orang yang sedang mengeyam pendidikan agama di pesantren.
Selama menimba ilmu di pesantren, ia juga akan ditanamkan nilai-nilai yang akan
membentuk karakter santri, nilai-nilai itu tercermin dalam panca jiwa yang
dimiliki semua santri yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah
islamiyah dan kebebasan.
Dalam
tradisi pesantren dapat ditemukan dua macam status santri, yaitu santri mukim dan
santri kalong.[5]
Yang dimaksud dengan santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah
yang jauh dank arena itu memiliki probabilitas yang tinggi untuk menetap
didalam kompleks pesantren. Biasanya santri mukim inilah yang akan tinggal di
pesantren dalam waktu yang lama. Adapun yang dimaksud dengan santri kalong
adalah mereka yang berasal dari sekeliling pesantren. Mereka ini memiliki rumah
yang letaknya tidak jauh dari pesantren.
Santri
di pesantren mengemban amanah untuk belajar mendalami ajaran agama (tafaqquh
fiddin) guna memperoleh bekal ilmu yang mencukupi sebagai modal untuk
berjuang menyebarkan ajaran agama islam.
3. Unsur pondok
Secara umum bangunan
pondok berbentuk seperti asrama. Ketersediaan pondok atau asrama santri
merupakan syarat pokok suatu pesantren,
oleh karena itu sebutan untuk lembaga semacam ini terkenal dengan nama
“pondok pesantren’’.
Ada beberapa alasan
pokok pentingnya unsur pondok dalam suatu pesantren: pertama,banyaknya
santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang
kyai yang termashur. Kedua, adanya hubungan timbale balik antara kyai
dan santri. Ketiga,suasana belajar santri dan perilaku kehidupan santri
dapat diawasi dan dibimbing oleh kyai. Sehingga penanaman nilai-nilai
pengamalan terhadap ilmu-ilmu yang diperoleh dalam setiap proses belajar yang
diikutinya. Santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari dan
malam, sehingga waktu-waktu yang dipergunakan santri tidak ada yang terbuang
secara percuma.
4. Unsur masjid
Masjid merupakan elemen
yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat,
khutbah, dan shalat jum’at, dan juga pengajaran kitab-kitab islam klasik.[6] Dalam
konteks pesantren, masjid dan kyai adalah dua hal yang memiliki keterkaitan
erat satu dengan yang lainnya. Masjid digunakan oleh kyai sebagai pusat
kegiatan.
Secara historis, masjid
adalah lembaga pendidikan islam yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
Di masa itu, masjid bukan saja sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, tetapi
juga sebagai pusat kegiatan lainnya.
5. Unsur pengajaran kitab-kitab klasik
Secara sederhana
kitab-kitab islam klasik yang berbahasa Arab dan ditulis menggunakan aksara arab,
dan dapat dipahami sebagai kitab kuning atau kitab gundul. Kitab-kitab ini
biasanya mempunyai format tersendiri yang di tulis diatas kertas berwarna
kekuning-kuningan. Akan tetapi, Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya
menggunakan bahasa Arab, tetapi juga bahasa lokal (daerah), seperti: melayu,
jawa, dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara arab.
Dengan demikian, selain ditulis oleh ulama di timur tengah, juga ditulis
oleh ulama Indonesia sendiri.[7]
Kitab kuning ini sering kali dijadikan pembeda antara kaum tradisionalis dengan
modernis.
Saat ini, meskipun
pesantren kebanyakan meng-akomodasi sejumlah mata pelajaran umum untuk diajarkan
di pesantren, tetapi pengajaran kitab-kitab islam klasik tetap diberikan
sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik
calon-calon ulama yang setia kepada paham islam tradisional. Yang dimaksud
paham tradisional disini merujuk kepada kitab-kitab islam klasik karangan ulama
yang beraliran syafi’iyah. Dalam kaitan ini, kitab-kitab islam klasik yang
diajarkan di pesantren dapat di golongkan kedalam delapan kelompok, yaitu: 1)
nahwu dan shorrof, 2) fiqih 3) ushul fiqh 4) hadist 5) tafsir 6) tauhid 7)
tasawwuf 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pesantren
sebagai organisasi dan lembaga keagamaan, selama ini telah menempatkan posisi
yang sederajat dengan lembaga pendidikan, memiliki budaya, iklim, model
organisasi, dan struktur kepemimpinan yang khas untuk mencapai tujuan yang
efektif.
Menurut
dhofier, lima unsure ekologis kelayakan pondok pesantren yang harus terpenuhi
yaitu: adanya kyai, santri, pondok,
masjid, dan kitab kuning. Hal ini merupakan karekteristik fisikal yang
membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya, yang berfungsi sebagai
sarana dan prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku social budaya di
pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Atiqullah, Perilaku Kepemimpinan Kolektif Pesantren, (Surabaya: CV. Salsabila Putra
Pratama, 2013).
Damopolii, Muljono,
Pesantren Modern IMMIM, (jakarta, Rajawali Pers, 2011).
Mujib, Fatekhul, Pesantren
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pamekasan, STAIN Pamekasan press,
2010).
[1] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, h. 88.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h, 18.
[3] Ibid h, 18.
[4] Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta
Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 1.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h. 51.
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
tentang pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h. 49.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan dan Modernisasi Menuju
Mellenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998) h.111.