Senin, 20 April 2015

MAKALAH; PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
       Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara pasti kapan pesantren itu di mulai, tetapi sebagai indikasi mulai adanya pesantren pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di jawa yang didirikan oleh sunan maulana malik Ibrahim di gersik jawa timur. Menurut versi lain, ada tanda-tanda yang menyebutkan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16. Keberadaan pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah walisongo pada abad ke 15-16 di jawa. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar islam di jawa yang telah berhasil mengkombinasikan aspek tradisi local dan spirit keagamaan serta aspek sekuler dan profan keduniawian dalam memperkenalkan islam kepada masyarakat.
       Hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan gerak perubahan zaman. Persoalan yang muncul ternyata terdapat kesenjangan antara pertumbuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baru dengan kemampuan pesantren untuk menjawab kompleksitas masalah yang terus-menerus mendera bangsa di Indonesia.
B.       Rumusan masalah
1.      Apa saja yang menjadi unsur-unsur dalam pesantren?
2.      Bagaimana tentang pengertian pesantren?
3.      Kitab apa saja yang dipelajarkan dalam pesantren?
C.       Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui unsur-unsur yang terjadi dalam pesantren.
2.      Untuk mengetahui pengertian tentang pesantren.
3.      Untuk mengetahui kitab-kitab yang diajarkan dalam pesantren.
                                                     

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengetian pesantren
Secara umum, pesantren diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Oleh karena itu, perkataan pesantren berasal dari kata santri juga, dengan penambahan awalan “pe’’ dan akhiran “an’’.[1] Zamkhsyari Dhofier mengutip beberapa pendapat para ahli tentang asal-usul istilah pesantren, seperti pendapat prof. Jhons yang mengatakan bahwa istilah santri sebenarnya berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C Breg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tau buku-buku suci agama Hindu, selain itu ada juga yang berpendapat bahwa kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2]
Istilah lain menyebutnya bahwa pesantren berpasangan dengan pondok. Dengan begitu, istilah “pondok pesantren’’ menjadi sangat popular di masyarakat. Dhofier menduga bahwa kata pondok itu berasal dari pengertian asrama-asrama para santri sebagai tempat yang di buat dari bambu, atau berasal dari kata funduq yang berarti hotel atau asrama.[3]
Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Walaupun pesantren sering diasumsikan sebagai lembaga pendidikan islam tertua di indonesi, tetapi perhatian para peneliti terhadap pesantren dapat di katakan belum terlalu lama dimulai. Oleh karena itu, masih banyak sisi-sisi lain dari pesantren yang perlu dilaborasi dan diteliti lebih lanjut. Apalagi jumlah pesantren di Indonesia terbilang sangat banyak dan tersebar hampir seluruh pelosok nusantara.
Salah satu pemicu percepatan penyabaran lembaga pesantren ke berbagai pelosok nusantara tersebut adalah adanya respons pemerintah waktu itu untuk membaharui bahkan membangun sejumlah pesantren.[4]

B.     Pesantren dalam perspektif Madura
Masyarakat Madura dan budayanya tidak bisa dipisahkan dari pesantren. Pesantren dengan kyai sebagai sentral figurnya, seolah-olah telah menjadi urat nadi kehidupan mereka sehari-hari. Tradisi-tradisinya yaitu budaya-budaya hidup di pesantren yang sudah berjalan sejak berabad-abad, terutama hubungan antara kyai, santri, dan masyarakat disekitar pesantren. Hubungan antara mereka berlangsung dalam suasana kekeluargaaan dan keakraban yang harmonis. Hubungan ini tidak saja berlangsung ketika para santri masih bersama dipesantren, tetapi harus berlanjut sampai kembali ke masyarakat, bukan saja dalam hal-hal yang menyangkut masalah pendidikan, tetapi juga yang berhubungan dengan masalah ekonomi, social, budaya, politik, bahkan sampai ke masalah jodoh dan pemberian nama untuk anak-anaknya.

C.     Unsur-unsur pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam adalah sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan kepada santri dan masyarakat. System kelembagaan pesantren terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.      Unsur kyai
Kyai menduduki posisi strategis dan peran sentral dalam kehidupan suatu pesantren. Posisi sentral mereka terkait dengan kedudukannya sebagai orang yang terdidik, ali, dan memiliki kemampuan ekonomi yang memadai di tengah masyarakat. Kyai tidak hanya mengajar dan mendidik santri, lebih dari itu ia mengatur kehidupan ekonomi, rohani, mobilitas dan seluruh lalu lintas kegiatan dalam pesantren.
Keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari kyai, ia yang memberi landasan system, tempat dimana ia mengembangkan ajaran dan pengaruhnya melalui pengajaran. Kyai hanya bertugas sebagai dewan penasehat pesantren atau mengajar kepada santri dalam mata pelajaran tertentu dalam alokasi waktu yang terbatas.
2.      Unsur santri
                        Santri juga sebagai unsur penting dalam pesantren, kyai tanpa santri ibarat raja tanpa rakyat. Santri adalah orang yang sedang mengeyam pendidikan agama di pesantren. Selama menimba ilmu di pesantren, ia juga akan ditanamkan nilai-nilai yang akan membentuk karakter santri, nilai-nilai itu tercermin dalam panca jiwa yang dimiliki semua santri yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah dan kebebasan.
                        Dalam tradisi pesantren dapat ditemukan dua macam status santri, yaitu santri mukim dan santri kalong.[5] Yang dimaksud dengan santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dank arena itu memiliki probabilitas yang tinggi untuk menetap didalam kompleks pesantren. Biasanya santri mukim inilah yang akan tinggal di pesantren dalam waktu yang lama. Adapun yang dimaksud dengan santri kalong adalah mereka yang berasal dari sekeliling pesantren. Mereka ini memiliki rumah yang letaknya tidak jauh dari pesantren.
                        Santri di pesantren mengemban amanah untuk belajar mendalami ajaran agama (tafaqquh fiddin) guna memperoleh bekal ilmu yang mencukupi sebagai modal untuk berjuang menyebarkan ajaran agama islam.
3.      Unsur pondok
            Secara umum bangunan pondok berbentuk seperti asrama. Ketersediaan pondok atau asrama santri merupakan syarat pokok suatu pesantren,
oleh karena itu sebutan untuk lembaga semacam ini terkenal dengan nama “pondok pesantren’’.
            Ada beberapa alasan pokok pentingnya unsur pondok dalam suatu pesantren: pertama,banyaknya santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kyai yang termashur. Kedua, adanya hubungan timbale balik antara kyai dan santri. Ketiga,suasana belajar santri dan perilaku kehidupan santri dapat diawasi dan dibimbing oleh kyai. Sehingga penanaman nilai-nilai pengamalan terhadap ilmu-ilmu yang diperoleh dalam setiap proses belajar yang diikutinya. Santri dapat dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari dan malam, sehingga waktu-waktu yang dipergunakan santri tidak ada yang terbuang secara percuma.
4.      Unsur masjid
            Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat, khutbah, dan shalat jum’at, dan juga pengajaran kitab-kitab islam klasik.[6] Dalam konteks pesantren, masjid dan kyai adalah dua hal yang memiliki keterkaitan erat satu dengan yang lainnya. Masjid digunakan oleh kyai sebagai pusat kegiatan.
            Secara historis, masjid adalah lembaga pendidikan islam yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Di masa itu, masjid bukan saja sebagai pusat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga sebagai pusat kegiatan lainnya.
5.      Unsur pengajaran kitab-kitab klasik
            Secara sederhana kitab-kitab islam klasik yang berbahasa Arab dan ditulis menggunakan aksara arab, dan dapat dipahami sebagai kitab kuning atau kitab gundul. Kitab-kitab ini biasanya mempunyai format tersendiri yang di tulis diatas kertas berwarna kekuning-kuningan. Akan tetapi, Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya menggunakan bahasa Arab, tetapi juga bahasa lokal (daerah), seperti: melayu, jawa, dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara arab.
Dengan demikian, selain ditulis oleh ulama di timur tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri.[7] Kitab kuning ini sering kali dijadikan pembeda antara kaum tradisionalis dengan modernis.
            Saat ini, meskipun pesantren kebanyakan meng-akomodasi sejumlah mata pelajaran umum untuk diajarkan di pesantren, tetapi pengajaran kitab-kitab islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia kepada paham islam tradisional. Yang dimaksud paham tradisional disini merujuk kepada kitab-kitab islam klasik karangan ulama yang beraliran syafi’iyah. Dalam kaitan ini, kitab-kitab islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan kedalam delapan kelompok, yaitu: 1) nahwu dan shorrof, 2) fiqih 3) ushul fiqh 4) hadist 5) tafsir 6) tauhid 7) tasawwuf 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.



                                                  BAB III
                                                         PENUTUP
Kesimpulan
            Pesantren sebagai organisasi dan lembaga keagamaan, selama ini telah menempatkan posisi yang sederajat dengan lembaga pendidikan, memiliki budaya, iklim, model organisasi, dan struktur kepemimpinan yang khas untuk mencapai tujuan yang efektif.
            Menurut dhofier, lima unsure ekologis kelayakan pondok pesantren yang harus terpenuhi yaitu: adanya kyai, santri, pondok,  masjid, dan kitab kuning. Hal ini merupakan karekteristik fisikal yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya, yang berfungsi sebagai sarana dan prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku social budaya di pesantren.












DAFTAR PUSTAKA
            Atiqullah, Perilaku Kepemimpinan Kolektif  Pesantren, (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013).
            Damopolii, Muljono, Pesantren Modern IMMIM, (jakarta, Rajawali Pers, 2011).
            Mujib, Fatekhul, Pesantren dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pamekasan, STAIN Pamekasan press, 2010).


[1] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan  Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,  h. 88.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h, 18.
[3]  Ibid h, 18.
[4] Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 1.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982) h. 51.
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982)  h. 49.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)  h.111.

Minggu, 19 April 2015

peran kepala sekolah dan guru dalam pengembangan kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedangkan sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Ciri-ciri yang menempatkan sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan umat manusia.
Karena sifatnya yang kompleks dan unik, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat kordinasi yang tinggi. Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah.
Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Tugas apa saja yang diperankan kepala sekolah dalam pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana cara untuk mengetahui peranan kurikulum?
3.      Apa yang diperankan guru dalam pengembangan kurikulum?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui peran yang dilakukan kepala sekolah dalam pengembangan kurikulum.
2.      Untuk mengetahui peranan kurikulum.
3.      Untuk mengetahui peranan guru dalam pengembangan kurikulum.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran Kepala Sekolah Dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk 1) saling pengertian antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, 2) saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing. 3) kerja sama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat danmereka merasa ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah.[1]
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya disekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka dalam membina pribadi peserta didik secara optimal.
Peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah sangatlah penting, maka dari itu ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebut:
1.      Kepala sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah.
2.      Kepala sekolah harus memahami tugas dan fungsi mereka demi keberhasilan sekolah, serta memiliki kepedulian kepada staf dan siswa.[2]
Sesuai dengan ciri-ciri sekolah sebagai organisasi yang bersifat kompleks dan unik, tugas dan fungsi kepala sekolah seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari sisi tertentu kepala sekolah dapat dipandang sebagai pejabat formal, sedangkan dari sisi yang lain seorang kepala sekolah dapat berperan sebagai menejer, pemimpin, pendidik dan yang tidak kalah penting seorang kepala sekolah juga berperan sebagai staf.
B.     Peran Guru Dalam Pengembangan Kurikulum
Guru adalah profesi yang sangat strategis dan mulia. Inti tugas guru adalah menyelamatkan masyarakat dari kebodohan, sifat, serta prilaku buruk yang menghancurkan masa depan mereka. Tugas tersebut merupakan tugas para nabi, tetapi karena nabi sudah tidak ada, tugas tersebut menjadi tugas guru. Jadi, guru adalah pewaris nabi. Sebagai pewaris nabi, guru harus memaknai tugasnya sebagai amanat Allah untuk mengabdi kepada sesamanya dan berusaha melengkapi dirinya dengan empat sifat utama para nabi, yaitu sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabliq (mengajarkan semuanya sampai tuntas), fathanah (cerdas). Apabila keempat sifat tersebut ada pada guru, guru pasti akan dapat melaksanakan tugasnya secara professional.[3]
Peranan dan tugas yang diemban guru sangat berat. Tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga harus dapat mendidik, membimbing, membina, dan memimpin kelas. Sedangkan kalau dilihat dari pengelolaanya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, dan desentralisasi. Kurikulum bersifat uniform untuk seluruh negara, daerah, atau jenjang sekolah.
Tujuan utama pengembangan kurikulum yang bersifat uniform ini adalah untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memberikan standar penguasaan yang sama bagi seluruh wilayah.
1.       Peranan Guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi, guru tidak mempunyai peranan perancangan, dan evaluasi yang bersifat makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim atau komisi khusus, yang terdiri atas para ahli. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro.
Tugas guru yaitu menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi, serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat.
Guru juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada siswanya tentang apa yang akan di capai dengan pengajarannya. Ia juga hendaknya melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan motivasi belajar, menciptakan situasi kompetitif dan koperatif, memberikan pengarahan dan bimbingan. Guru memberikan tugas-tugas individual atau kelompok yang akan memperkaya dan memperdalam penguasaan siswa. Dalam kondisi ideal guru juga berperan sebagai pembimbing, berusaha memahami secara seksama potensi dan kelemahan siswa, serta membantu memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.[4]
2.      Peranan Guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah ataupun daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah.
Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa kelebihan disamping itu juga mempunyai kekurangan. Kelebihan-kelebihannya diantaranya (1) kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat, (2) kurikulum sesuai dengan kemampuan tingkat sekolah, baik kemampuan professional, finansial maupun manajerial, (3) ada motivasi kepala sekolah untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran administrasi pendidikan, guru berperan sebagai berikut:
a.       Mengambil inisiatif, pengaruh dan penilaian pendidikan.
b.      Wakil masyarakat disekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan.
c.       Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkan.
d.      Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para siswa melaksanakan disiplin.
e.       Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik.
f.       Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan siswa sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan.
g.      Penerjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Syamsuddin mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal dapat berperan sebagai berikut:
1)      Konservator (pemerihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.
2)      Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan.
3)      Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada siswa.
4)      Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik.
5)      Organisator (penyelenggara) terciptannya proses edukatif yang dapat di pertanggung jawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta tuhan yang menciptakannya).[5]
Di lain pihak, surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran siswa, pengarah pembelajaran dan pembimbing siswa. Dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu masyarakat, guru berperan sebagai Pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
     



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
      Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya disekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka dalam membina pribadi peserta didik secara optimal.
Peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah sangatlah penting, maka dari itu ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebut:
1.      Kepala sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah.
2.      Kepala sekolah harus memahami tugas dan fungsi mereka demi keberhasilan sekolah, serta memiliki kepedulian kepada staf dan siswa.
Guru adalah profesi yang sangat strategis dan mulia. Inti tugas guru adalah menyelamatkan masyarakat dari kebodohan, sifat, serta prilaku buruk yang menghancurkan masa depan mereka. Tugas tersebut merupakan tugas para nabi, tetapi karena nabi sudah tidak ada, tugas tersebut menjadi tugas guru. Jadi, guru adalah pewaris nabi. Sebagai pewaris nabi, guru harus memaknai tugasnya sebagai amanat Allah untuk mengabdi kepada sesamanya dan berusaha melengkapi dirinya dengan empat sifat utama para nabi, yaitu sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabliq (mengajarkan semuanya sampai tuntas), fathanah (cerdas). Apabila keempat sifat tersebut ada pada guru, guru pasti akan dapat melaksanakan tugasnya secara professional.




DAFTAR PUSTAKA
            Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007).
            Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum: teori dan praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997).
            Suprihatiningrum,Jamil, Guru Profesionalisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013).
            Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).

















[1] Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.187
[2] Wahyosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm.82
[3] Jamil,Suprihatiningrum, Guru Profesionalisme,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm.28-29
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1997), hlm.200-201
[5] Jamil,Suprihatiningrum, Guru Profesionalisme,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm.27